PELAJARAN DARI TURUNNYA CARLY FIORINA

Darmin A. Pella

Di bulan ini*, ada dua peristiwa turunnya eksekutif yang saya cermati menarik. Pertama, di level global. Adalah turunnya Carly Fiorina di tampuk HP, serta James Kilts di puncak Gillette. Kedua, di level nasional. Adalah dibebastugaskannya Direktur Keuangan (Dirkeu) Pertamina Alfred Rohimone.  

Ini adalah kasus suksesi eksekutif, dengan jenis kasus pelengseran (ouster) eksekutif.  Yang satu terjadi di negara maju, satunya lagi di negara berkembang.  Apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini?

Turunnya Carly Fiorina menghiasi halaman media bisnis dunia. Sebabnya sederhana. Carly Fiorina memimpin Hewlett Packard, perusahaan terdepan dalam printer, yang di 2001 mengakuisisi Compaq dalam rangka memperkuat bisnis komputernya.

Ini adalah sebuah pelajaran suksesi perusahaan kampiun printer global nowor wahid. Media bisnis lokal juga merekam peristiwa ini. Tetapi berita terbaru yang belum terekam, banyak yang menyangka, bahwa biang turunnya Carly Fiorina sebagai CEO HP adalah Patricia Dunn, penggantinya sebagai chairman HP. Tetapi ternyata, yang berpengaruh adalah Richard Hackborn, yang tinggal di Idaho, jauh dari keramaian Silicon Valley.

Hackborn yang membangun opini dimingu-minggu terakhir, yang mendorong turunnya Fiorina. Banyak analis meminta agar divisi printer, sumber lukratif penghasil kekayaan HP dipisah saja dari divisi komputer, hasil merger dengan Compaq, yang performanya biasa-biasa saja. Yang menarik adalah, meski Hackborn amat berpengaruh melengserkan Fiorina, kalau kita balik ke tahun 2001, kenyataannya Hackborn adalah pendukung utama Fiorina ketika membeli Compaq di tahun tersebut.

Tetapi dukungan tak berlangsung selamanya. Kekecewaan Hackborn bersemi ketika kinerja HP gagal mencapai target. Sejak 2003. Lalu berlanjut di 2004. Permasalahan utama: hilangnya pangsa pasar yang digerogoti oleh Dell (di bisnis printer) dan IBM (di bisnis komputer). Tetapi basis strateginya di bisnis komputer kurang terdifferensiasi. Strategi pertumbuhan divisi komputer terlalu komoditas ala Windows PC, sehingga tak sanggup menghadapi perusahaan super-efisien seperti Dell. Nilai inti akar budaya perusahaan HP adalah inovator, sebagaimana ditulis juga oleh Collin & Porras dalam Built to Last. Kritik lebih lebih jauh mengatakan hackborn mencerabut HP dari akarnya sebagai perusahaan berideologi inovator tersebut menjadi hanya distributor komputer. Bicara distribusi, siapa yang kuat melawan Dell?

Ada lagi yang ditengarai sebagai sebab: pemecatan Fiorina pada beberapa karyawan kunci HP. Apa pun itu, kenyataannya Hackborn menjadi katalis proses ini.

Selama beberapa dekade, Hackborn adalah penguasa balik layar di HP (power behind the throne). Hackborn memiliki jasa mendalam, diakui investor dan orang dalam, sebagai pahlawan divisi printer. Tahun 1992, David Packard dan Bill Hewlett, pendiri HP, memintanya menjadi CEO dan ia menolaknya. Reputasinya ini bertahan. Dan diduga, selain ikut melengserkan Fiorina, ia juga akan berperan penting dalam pencarian penggantinya.

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini?

Pertama, jabatan puncak eksekutif perusahaan adalah jabatan politis. Saya menyukai ungkapan bahwa salah satu tugas CEO yang pertama adalah adalah “to keep your butt in your chair”. Jadi jangan heran, ketika direksi Anda perlu lebih banyak tersenyum, menjawab pertanyaan dengan amat diplomatis, waktu terbanyaknya dihabiskan sibuk menggunting pita di sana-sini. Semua itu bukanlah tugas profesionalisme. Tetapi tugas politis. Agar ia masih bisa menduduki kursinya paling tidak untuk sebulan, setahun atau satu periode lagi. Ini juga berarti setiap manajer yang bercita-cita masih ingin melihat karirnya mennajak tidak boleh melupakan pelajaran berbasa-basi, pendekatan, politik yang mungkin jarang di bahas di sekolah-sekolah bisnis dan kamus profesionalisme.

Kedua, pelengseran alias pengusiran (ouster) eksekutif di negara maju, perusahaan asing, amat terbuka dinyatakan dengan alasan-alasan kinerja. Target yang tak tercapai di 2003 dan 2004, merger dengan Compaq yang tak sesuai harapan investor, adalah alasan yang poaling sering disebut dalam turunnya Carly Fiorina. Tetapi pembebastugasan direksi di Indonesia, BUMN atau swasta, diwarnai oleh nuansa pelanggaran peraturan. Ketidakmampuan mengikuti standar dan prosedur. Ketidakbecusan mengikuti prinsip-prinsip normatif.

Anda mungkin setuju, baru bisa dipecat karena alasan normatif jelas menunjukkan profesionalisme manajemen yang rendah. Mengapa Indonesia baru bisa menurunkan direksi karena alasan pelanggaran prosedur, dan belum sampai ke alasan ketidakmampuan mencapai kinerja. Adakah Direksi BUMN atau swasta yang dilengserkan karena masalah kinerja? Karena target tidak tercapai?  Karena perusahaan merugi? Karena manajemen yang kurang efisien?  Karena tidak mencapai posisi lima besar dalam persaingan?  Sulit mendengarnya  (dap).

* artikel ini ditulis Maret 2005

3 Responses

  1. wah..makasih pak, reviewnya saya contek yah…^_^ buat ngerjain studi kasus di kampus..

  2. Artikel bagus…
    Sekedar ingin berbagi artikel aja, barangkali bisa sedikit menambah referensi mengenai Manajemen Perubahan dari Merger Perusahaan
    Klik –> Makalah Manajemen Perubahan Kisah Merger HP Compaq

Leave a reply to Shanti Cancel reply